Beranda | Artikel
PENGERTIAN HADITS BERIKUT?
Senin, 15 Januari 2024

Soal : Saya ingin menanyakan tentang derajat dan pengertian hadits berikut yang terjemahannya “sesungguhnya andai kepala seseorang kalian ditusuk dengan jarum yang terbuat dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani. Pertanyaan kedua, bagaimana hukum menggunakan hadits âhâd? Syukran.

628968xxxxxx

Jawab:

Teks hadits yang ditanyakan adalah sebagai berikut:

لِأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَاتَحِلُّ لَهُ

Sesungguhnya andai kepala seseorang kalian ditusuk dengan jarum yang terbuat dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrâni dalam al-Mujamul Kabîr no.486, 487 dan ar-Rûyânî dalam Musnadnya II/227. Hadits ini dihukumi berderajat hasan oleh al-Albani dalam ash-Shahîhah no. 226.

Hadits ini dengan jelas menunjukkan penegasan haramnya seseorang lelaki menyentuh wanita yang bukan mahramnya. Demikian juga sebaliknya, seorang wanita tidak boleh menyentuh lelaki yang bukan mahramnya. Ya, sekedar sentuhan terhadap lawan jenis yang tidak dihalalkan oleh ajaran Islam tidak dibenarkan. Tidak benar bila ada yang memaknai kata ‘menyentuh’ yang terdapat dalam hadits di atas dengan pengertian ‘berhubungan badan dengan wanita yang tidak halal baginya’.

Masuk dalam larangan tersebut yaitu bersalaman antara lelaki dan perempuan, baik itu seorang Pak guru dengan siswinya, atau Ibu guru dengan siswanya, dan seorang lelaki dengan wanita dari kerabatnya yang bukan mahramnya, seperti sepupunya.

Dalam hal menyikapi larangan dan perintah syariat, seorang Muslim dan Muslimah wajib menaati Allâh عزوجل dan Rasul-Nya ﷺ dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Orang yang berkomitmen seperti ini bukanlah orang yang syâdz (abnormal). Justru yang syâdz, sesuai pernyataan Syaikh al-‘Utsaimîn رحمه الله dalam fatwanya adalah orang yang melanggar perintah Allâh عزوجل . (kutipan dari Fatâwâ al-Mar`atil Muslimah hlm.544). Umat Islam wajib mengamalkan segala yang mendatangkan ridha Allâh عزوجل dan sejalan dengan petunjuk Rasul-Nya ﷺ . Ulasan lebih panjang tentang ini, bisa disimak dalam Rubrik Baiti Jannati edisi sekarang. Wabillâhit taufîq.

Berkaitan dengan pengamalan hadits Âhâd, ada baiknya disebutkan definisinya terlebih dahulu. Hadits âhâd lawan kata dari hadits mutawâtir. Yaitu, hadits yang tidak memenuhi syarat mutawâtir, yang diriwayatkan dari jalur yang kurang dari sepuluh orang dalam setiap thabaqahnya. (Lihat Taisîri Musthalahil Hadîts hlm.24).

Ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah memandang wajibnya mengamalkannya termasuk dalam aspek aqidah. Bahkan sudah menjadi ijma generasi Salaf dalam masalah ini.

Pendapat yang tidak sejalan dengan ijma’ ini baru muncul sejak adanya ilmu kalam. Mereka yang memandang tidak wajibnya mengamalkan hadits âhâd adalah orang-orang yang berasal dari golongan yang menyimpang, seperti al-Jubba`i seorang tokoh sekte Mu’tazilah, golongan Qadariyah dan Râfi dhah. (Lihat Makânatu as-Sunnati fi l Islâm hlm.154).

Imam Syâfi ’i رحمه الله telah membenarkan pendapat wajibnya mengamalkan hadits âhâd dalam kitabnya ar-Risâlah dengan berbagai hujjah yang kuat. Di antaranya, berita dari satu orang yang menyampaikan kepada orang-orang yang tengah mengerjakan shalat Subuh di Quba berita tentang datangnya wahyu kepada Rasûlullâh ﷺ tentang perubahan arah kiblat menuju Ka’bah. Mereka langsung berputar menuju arah Ka’bah dengan dasar berita dari satu orang saja. Mereka tidak akan melakukannya langsung kecuali karena mereka paham bahwa hujjah berlaku dengan berita dari satu orang saja.

Masih banyak dalil yang membuktikan kewajiban mengamalkan hadits âhâd seperti delegasi-delegasi yang diutus Rasûlullâh ﷺ untuk mendakwahi daerah yang belum memeluk Islam atau daerah yang penduduknya telah memeluk Islam. Dan sudah tentu, para delegasi itu yang terkadang hanya sendirian akan menjelaskan perkara aqidah, ibadah dan hukum-hukum lainnya. Wallâhu a’lam.

Majalah As-Sunnah Edisi 08/Thn XVIII/Shafar 1436H/Desember 2014M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/soal-jawab/pengertian-hadits-berikut/